1.
Latar Belakang Kelahiran
Para
sastrawan ingin menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional
mereka melalui karya sastra. Bagi mereka kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan
kondisi hidup manusia. Mereka tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan
di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk
kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Kehidupan sastra pada masa ini penuh
gejolak, banyak terjadi persaingan antara sastrawan yang mempertahankan seni
untuk rakyat dan seni untuk seni.
Kelompok
seni untuk rakyat tergabung dalam LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di bawah
lindungan PKI. Para sastrawan seni untuk seni sangat mencintai kesenian,
berusaha gigih melawan serangan kelompok seni untuk rakyat yang berideologi
komunis. Pada tahun 1963, para budayawan, seniman, dan pengarang membangun
Manifes Kebudayaan sebagai sikap anti-LEKRA. Kelompok ini menegaskan bahwa
Pancasila landasan mereka.
Manifes
Kebudayaan merupakan pukulan berat bagi Seniman LEKRA. Namun, mereka tidak
putus asa dan berusaha menebarkan fitnah dan teror sehingga akhirnya seniman
dan sastrawan anggota Manifes Kebudayaan tersebut diusir dari tiap kegiatan,
ditutup kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai
pemerintah dipecat dari pekerjaannya oleh presiden Soekarno. Akibatnya, majalah
sastra pada saat itu dilarang terbit dikarenakan dianggap menuduh seseorang
kontra revolusi, anti-manipol, anti-lisdek, anti-nasakom dan sebagainya.
Kelompok
LEKRA berhenti beraksi ketika kup kekuasaan yang didalangi PKI (30 September
1965) digagalkan ABRI dan Rakyat Indonesia. PKI dibubarkan, orang-orang LEKRA
ditangkap dan karya-karya mereka dilarang dibaca. Presiden Soekarno
mengundurkan diri dan digantikan Presiden Soeharto. Inilah awal era Orde Baru,
suatu orde yang berusaha memurnikan kembali penggunaan Pancasila sebagai
Landasan Negara.
2. Tujuan Kelahiran Angkatan
·
Membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani secara mental dan fisik. Sajak-sajak,
cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis merupakan protes sosial dan
protes terhadap penginjakan martabat manusia. Puncaknya adalah sajak-sajak
Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dan lain-lain yang
ditulis ditengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar awal tahun 1966. Sajak-sajak
demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng (tahun
1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966, terbit majalah Horison ynag
dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief
Budiman, dan lainnya.
·
Memberi tanggapan terhadap kondisi Negara Indonesia. Adanya rasa kecewa akan Negara Indonesia
pada zaman itu dikarenakan banyaknya KKN, kecurangan dalam birokrasi Negara,
putusan pemerintah yang rahasia, kejahatan dimana-mana dan yang lainnya.
·
Mengajak
rakyat Indonesia untuk memiliki rasa nasionalisme mempertahankan Republik
Indonesia.
3.
Tokoh Sastrawan
1.
Taufik Ismail
Taufik Ismail
lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di
Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Ia melanjutkan pendidikan
di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang
IPB), dan tamat pada tahun 1963. Ia adalah dokter hewan dan tergolong penyair
yang handal. Sajak-sajaknya dipenuhi protes-protes terhadap ketidakadilan dan
penyelewengan yang terjadi di masyarakat. Ia memotret berbagai peristiwa
berdarah pada terjadinya demonstrasi besar-besaran terhadap pemerintah pada
masa itu. Dia merekam tertembaknya Arif Rahman Hakim saat memimpin demonstrasi
mahasiswa di Salemba, dalam sajaknya Salemba; Karangan Bunga; dan Percakapan
Angkasa. Sebagian sajaknya dimuat dalam dua buku kumpulan sajak berjudul Tirani
dan Benteng. Berikut terlampir sebuah puisi karyanya yang berjudul
Karangan Bunga.
Karangan
Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang di tembak mati
siang tadi
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang di tembak mati
siang tadi
Apresiasi
:
Puisi di atas
membicarakan peristiwa demonstrasi mahasiswa pada tahun 1966 menentang orde
lama. Tiga anak kecil mewakili golongan manusia lemah yang masih suci dan murni
hatinya, yang sebenarnya belum tahu apa-apa tentang peristiwa demonstrasi itu.
Tetapi mereka bertiga sudah mampu menyatakan duka cita terhadap gugurnya
mahasiswa yang ditembak mati oleh penguasa pada waktu itu. Karena itu ketiga
anak kecil membawa karangan bunga dalam langkah malu-malu. Tanda kedukaan
dilambangkan dengan “pita hitam pada karangan bunga”. Penggambaran melalui tiga
anak kecil menyentuh hati pembaca. Pembaca tentu tidak akan percaya bahwa
lukisan itu menggambarkan kenyataan, sebab di tengah-tengah demonstrasi
mahasiswa saat itu tidak mungkin ada “tiga anak kecil” membawa karangan bunga
ke Salemba. Jadi semua pernyataan ini bermakna kias dan melambangkan suatu
maksud yang hendak dikemukakan oleh penyair. Yakni, kedukaan yang mendalam
karena gugurnya pahlawan Ampera.Pemilihan kata, bunyi, lambang, kiasan,
versifikasi, dan sebagainya diabdikan untuk kepentingan perwujudan makna
tersebut.
2. Gunawan Muhammad
Ia merupakan
salah seorang pendiri majalah Horison bersama Arif Budiman, HB Jassin dan
beberapa orang lainnya. Ia lebih terkenal sebagai esais atau penulis esai yang
sangat produktif. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Dia juga
berhasil membuat beberapa sajak. Tulisan-tulisannya banyak dimuat dalam majalah
Horison. Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan
menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan, diantaranya kumpulan puisi
dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa
Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang
Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980).
Tetapi lebih dari itu, tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah
Catatan Pinggir, sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman
paling belakang dari Majalah Tempo. Sejak kemunculannya di akhir tahun 1970-an,
Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik,
fanatik, dan kolot. Berikut terlampir salah satu karyanya yang berjudul Di
Depan Sancho Panza.
Di Depan Sancho Panza
Di depan Sancho Panza yang lelah,
seorang perempuan bercerita tentang sajak
yang disisipkan ke dalam hujan
yang tak tidur.
Tentu saja Sancho tak mengerti
bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh. Dipegangnya tangan
perempuan itu dan berkata, ”Jangan cemas.”
Memang sebenarnya perempuan itu cemas:
Seseorang mencintainya dan ia tak tahu
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang
dan laki-laki itu tetap menuliskannya, sementara hujan
hanya datang kadang-kadang. Malah guruh lebih sering,
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan
antusiasme yang tak lazim. Atau logat yang asing.
Atau angan-angan yang memabukkan.
”Semua ini jadi lucu,” kata perempuan itu.
Dan Sancho pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus,
tua dan majenun, yang memungut sajak yang lumat
dalam hujan, yang percaya telah mendengar sedu-sedan
dan cinta dari cuaca, meskipun yang ia dengar
adalah sesuatu yang panjang dan sabar
seperti gerimis.
Di depan Sancho Panza yang lelah,
seorang perempuan bercerita tentang sajak
yang disisipkan ke dalam hujan
yang tak tidur.
Tentu saja Sancho tak mengerti
bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh. Dipegangnya tangan
perempuan itu dan berkata, ”Jangan cemas.”
Memang sebenarnya perempuan itu cemas:
Seseorang mencintainya dan ia tak tahu
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang
dan laki-laki itu tetap menuliskannya, sementara hujan
hanya datang kadang-kadang. Malah guruh lebih sering,
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan
antusiasme yang tak lazim. Atau logat yang asing.
Atau angan-angan yang memabukkan.
”Semua ini jadi lucu,” kata perempuan itu.
Dan Sancho pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus,
tua dan majenun, yang memungut sajak yang lumat
dalam hujan, yang percaya telah mendengar sedu-sedan
dan cinta dari cuaca, meskipun yang ia dengar
adalah sesuatu yang panjang dan sabar
seperti gerimis.
2.
Bachtiar Siagian
Dilahirkan di
Aceh pada tahun 1934. Ia juga termasuk pengarang LEKRA yang aktif menulis dan
menyutradai drama. Salah satu buku dramanya yang berhasil diterbitkan berjudul
Lorong Belakang, Setelah PKI dan LEKRA nya dibubarkan, Bachtiar Siagian
ditangkap dan karya-karyanya dilarang terbit dan dilarang dibaca. Ia pernah
meraih Piala FFI sebagai Sutradara Terbaik di Tahun 1960. Ia sempat menjadi pemeran
utama dalam film "Melati Sendja". Film-filmnya banyak diperani oleh para artis Rima
Melati, Mieke Widjaja, Nani Widjaya, dan Dicky Zulkarnaen.
4. Tokoh H.B.Jassin
Sejarah
mencatat, sepanjang hidupnya HB Jassin menumpahkan perhatiannya mendorong
kemajuan sastra-budaya di Indonesia. Berkat ketekunan, ketelitian dan
ketelatenannya, ia dikenal sebagai kritisi sastra terkemuka sekaligus
dokumentator sastra terlengkap. Kini, kurang lebih 30 ribu buku dan majalah
sastra, guntingan surat kabar, dan catatan-catatan pribadi pengarang yang
dihimpunnya tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail
Marzuki, Jakarta. Begitu besarnya pengaruh HB Jasin di antara kalangan
sastrawan, Gajus Siagian (almarhum) menjulukinya “Paus Sastra Indonesia”. Ia juga turut
menanda-tangani Manifesto Kebudayaan) tahun 1963.
4.
Tokoh sastrawan beserta karya sastra lainnya
·
Saini K.M. à Nyanyian Tanah Air (sajak).
·
A.S. Dharta (LEKRA) à Rangsang Detik (sajak), esai, dan kritik sastra.
·
B. Soelarto (Manikebu) à Domba-Domba Revolusi (drama).
·
Bur Rasuanto à Bumi yang Berpeluh, Sang Ayah (roman). Mereka telah Bangkit (sajak).
·
Satyagraha Hoerip à Sepasang Suami Istri (roman politik).
·
Sapardi Djoko Damono à Dukamu Abadi (sajak).
·
Kamal Firdaus T.F. à Di Bawah Fajar Menyingsing (sajak).
·
Rahmat Djoko Pradopo à Matahari Pagi di Tanah Air (sajak).
·
Slamet Kirnanto à Kidung Putih, Puisi Alit (sajak).
·
Titi Said à Perjuangan dan Hari Perempuan (cerpen).
·
S. Thahjaningsih à Dua Kerinduan (cerpen).
·
Sugiarti Iswadi à Sorga di Bumi (cerpen).
·
Enny Sumargo à Sekeping Hati Perempuan (roman).
·
Gerson Poyk à Hari-Hari Pertama (novel).
·
Ras Siregar à Harmoni (cerpen), Terima Kasih (roman).
·
Djumri Obeng (anti-LEKRA)à Dunia Belum Kiamat (roman).
·
Poernawan Tjondronagoro à Mendarat Kembali, Mabuk Sake (roman).
·
Rosida Amir à Jalan yang Tak Kunjung Dasar (roman).
·
Zen Rosdy à Cinta Pertama (roman).
·
Tabrin Tahar à Guruh Kering (cerpen).
·
Matia Madijah à Kasih di Medan Perang (roman).
·
M. Saribi Afn à Gema Lembah Cahaya (sajak).
·
Agam Wispi (LEKRA) à Sahabat (sajak).
·
S. Anantaguna à Yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah (sajak).
·
Sobron Aidit à Pulang Bertempur, Ketemu di Jalan (sajak). Derap Revolusi (cerpen).
·
Hadi Sosrodanukusumo à Jatuh dan yang Tumbuh (sajak).
Pengarang yang di masa sebelumnya telah terkenal
dan aktif, yaitu: Rendra, N.H. Dini, Ramadhan K.H., Nasjah Djamin, Toha
Mochtar, Toto Sudiarto Bachtiar, Motinggo Busye, dan masih banyak lagi.
Pengarang yang mulai produktif dan melahirkan karya
sastra pada masa berikutnya, yaitu: Titis Basino, Darmanto Jatman, Dick
Hartono, Budi Darma, Bakti Sumanto, Poppy, Abdul Hadi, Bachrum, sanento, Rita,
Peramsi, Andre Harjana, Umar Kayam, Ernisiswati Hutomo, dan beberapa pengarang
lainnya.
4.
Genre Sastra yang Terkenal
Jenis karya
sastra yang terkenal pada tahun 1961-1966 adalah syair, puisi, gurindam dan
hikayat. Berikut ini terlampir salah satu contoh syair yang terkenal, yaitu
Syair Orang Lapar (1964).
SYAIR ORANG LAPAR
Taufiq Ismail
Taufiq Ismail
L
apar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kau ulang jua
Kalau.
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kau ulang jua
Kalau.
5.
Karakteristik Angkatan
·
Tema
yang diangkat : Perjuangan (berlatar revolusi), kehidupan PSK, social,
kejiwaan, keagamaan, kegelisahan batin dan rumah tangga yang bersumber
pada siutasi budaya belum mapan dan situasi-situasi tersebut karena adanya
norma politik dan norma ekonomi.
·
Karya
yang dihasilkan bermacam-macam ide dan warna. Contohnya: warna lokal yang
terdapat pada Ronggeng Dukuh Paruk karya Achmad Thohari
·
Adanya
sastra protes, contoh: kumpulan sajak Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail
Arti penting
sajak angkatan ‘66 pertama-tama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan
hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa
penindasan.
6.
Daftar Pustaka
·
Rani,
Supratman Abdul dan Yani Maryani. 2004. Intisari Sastra Indonesia untuk SLTP.
Cetakan ke-2. Bandung : Pustaka Setia.
·
Ismail,
Taufiq. Malu Aku Menjadi Orang Indonesia.
·
http://spiritskul.blogspot.com
·
http://kolom-biografi.blogspot.com
·
http://asiaaudiovisualrb09susilo.wordpress.com
·
http://pecintapuisi.wordpress.com/2008/02/25/syair-orang-lapar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar